Jakarta, Jatim This Week – Polusi udara di DKI Jakarta memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Kondisi itu salah satunya disebabkan adanya polusi yang terjepit di antara dua gedung menjulang atau disebut dengan street canyon effect.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menjelaskan salah satu penyebab buruknya tingkat polusi udara di perkotaan, khususnya Jakarta karena adanya gedung menjulang.
“Ada Street Canyon Effect. Jadi kalau kita di antara dua gedung kemudian ada pencemaran di antara dua gedung ini terjebak berputar-putar,” kata Sigit saat diwawancara dengan media di kantornya Jakarta pada , Minggu (20/8/2023).
Lebih detail dia menjelaskan, berbagai polusi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, sumber energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTA), pembakaran sampah, dapur dan lain sebagainya terjebak di antara dua gedung-gedung menjulang.
“Ditambah dengan kendaraan bermotor. Jadi nilainya bisa bertambah hingga 10 kali lipat, dan itu tidak terjadi hanya di Indonesia dan Jakarta saja ” katanya.
Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta akan mulai memberlakukan kebijakan Work From Home (WFH) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) guna mengurangi polusi udara dan kemacetan. WFH bagi ASN berlangsung selama dua bulan sejak 21 Agustus hingga 21 Oktober 2023, hal ini di ungkapkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono .
“WFH itu bagi ASN dan dia bekerja di rumah. Tujuannya apa? Biar nggak mondar-mandir. Dia tidak boleh juga ke mana-mana. Dia bekerja di rumah,” ujar Heru saat berada di Penjaringan, Jakarta Utara.
Di tempat terpisah saat di hubungi via panggilan telepon Attilio A.Poli , salah seorang pakar dari APAQ Group, menjelaskan jika polusi yang terjadi di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, akibat dari Alat pantau di beberapa stasiun pemantauan udara yang telah terpasang di Indonesoa tidak mengikuti standar baku mutu internasional yang diakui secara ilmiah juga secara luas.
” Yang telah banyak terpasang adalah sensor murah dengan baku mutu / teknologi yang digunakan telah terbukti tidak akurat dan tidak dapat diandalkan kebenarannya (electrochemical sensors) adalah penyebab utama ketidak akuratan atas pengukuran kualitas udara,” kata Attilio
Dimana seharusnya dari pengalaman internasional yang ia miliki, dengan mempertimbangkan atas ukuran dan populasi Indonesia, lanskap perkotaan dan industrinya, kemungkinan besar diperlukan sekitar 1000 stasiun pemantauan kualitas udara untuk mencakup wilayah nasional secara memadai, dan setidaknya setidaknya 50-80 stasiun pemantauan di wilayah sekitar Jabodetabek, lanjutnya
“Tentu hal itu di maksudkan agar pihak yang berwenang bisa mendeteksi serta memitigasi lebih awal terjadinya pencemaran udara yang terjadi sehingga kepanikan berlebihan seperti ini tidak terjadi,”pungkasnya. (jer/adi)