Membungkam Jurnalis Membunuh Demokrasi, Teror Kepala Babi Ancaman Kebebasan Pers

Teror kepala babi kepada Jurnalis Tempo merupakan serangan langsung terhadap demokrasi. Hal tersebut juga merusak secara fundamental terhadap kebebasan pers yang merupakan amanat dari konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aksi teror kepala babi tanpa telinga yang menimpa salah seorang Jurnalis Tempo yang juga host Bocor Alus politik Francisca Christy Rosana (cica), jelas merupakan intimidasi untuk menakut-nakuti dan bertujuan untuk membungkam seorang pewarta.
Di Indonesia beberapa kali ancaman bahkan kekerasan fisik serta pembunuhan menimpa jurnalis yang sedang melaksanakan tugas untuk menyebarluaskan kebenaran. Teror dan kekerasan terhadap jurnalis kerap terjadi disaat mereka sedang melakukan investigasi.
Beberapa contoh adalah Alfrets Mirulewan, Pemimpin Redaksi Pelangi Maluku ditemukan tewas di Pelabuhan Pantai Wonreli, Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya (2010). Pembunuhan Wartawan Tribrata TV Rico Sampurna Pasaribu dan ketiga keluarganya setelah menulis tentang perjudian di wilayah Sumatera Utara.
Kemudian pada Era Orde Baru kematian jurnalis Bernas (Yogyakarta 1996) menjadi kasus yang tidak pernah tuntas. Udin dibunuh setelah melaporkan korupsi pejabat lokal dan hingga kini tidak jelas bagaimana penuntasan terhadap kasus kematian Udin.
Kekerasan terhadap jurnalis serta aksi teror kepada pers di Indonesia mencerminkan ancaman serius terhadap demokrasi. Membungkam jurnalis dan mematikan fungsi pers sebagai kontrol sosial adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Hal tersebut juga akan berdampak kepada menyempitnya dan hilangnya akses informasi kritis yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat.
Tanpa kebebasan pers, masyarakat tak mampu mengontrol kekuasaan, dan demokrasi hanya ilusi bagi rakyat. Dibutuhkan upaya kolektif semua pihak dari masyarakat sipil dan komunitas global untuk memastikan jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut. Selain itu melindungi jurnalis bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa seseorang, tetapi juga merawat kesehatan demokrasi.
Mengapa pers penting sebagai pilar demokrasi? Pers sejatinya berperan sebagai penjaga akuntabilitas. Pers dan Jurnalis bertugas untuk mengawasi kekuasaan dalam hal ini adalah pemerintah, korporasi, aktor-aktor politik dan bertugas mengungkap penyalahgunaan wewenang, korupsi bahkan pelanggaran HAM.
Selain hal tersebut diatas pers bertugas sebagai penyedia informasi publik. dan yang tak kalah penting, pers juga mampu menjadi corong bagi kelompok minoritas atau korban ketidakadilan yang sulit memiliki akses kepada kekuasaan.
Demokrasi akan mati tanpa informasi dari seorang jurnalis. Jurnalis adalah mata dan telinga publik. Jika jurnalis di bungkam, masyarakat buta terhadap kebenaran, dan ruang demokrasi diisi oleh kepentingan penguasa.
Menghentikan teror terhadap jurnalis bukan hanya sekedar masalah profesi dan resiko pekerjaan. tapi hal tersebut merupakan pertaruhan masa depan demokrasi Indonesia.
Setiap ancaman kepada kebebasan pers adalah pukulan atas kebenaran. Jika semua diam, esok tidak ada lagi yang berani membongkar korupsi, ketidakadilan, dan segala bentuk penyalahgunaan kewenangan kekuasaan. Waktunya bertindak selamatkan jurnalis, selamatkan demokrasi.