Megawati : Akali Putusan MK Pelanggaran Konstitusi

Jakarta, Jatimthisweek.com – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, menyinggung keputusan panitia kerja revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang tak mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam pembahasan tersebut.
Menurut Megawati, putusan MK bersifat final dan mengikat yang semestinya menjadi rujukan Badan Legislasi DPR dan pemerintah dalam menyusun serta membentuk Undang-Undang.
Akan tetapi, Panja tak mengakomodasi dua putusan Mahkamah tersebut.
“Mengakali putusan MK adalah pelanggaran terhadap konstitusi,” kata Megawati dalam pidatonya di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Kamis, (22/8/2024).
Adapun, pada 21 Agustus lalu, delapan dari sembilan fraksi partai politik di Baleg DPR kompak menyetujui hasil pembahasan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada.
Hanya fraksi PDIP yang menolak hasil pembahasan tersebut.
“Fraksi PDIP menyatakan tidak sependapat dengan RUU tersebut untuk dibahas pada tingkat selanjutnya,” ujar anggota Baleg DPR dari Fraksi PDIP Muhamad Nurdin saat membacakan pandangan fraksi.
Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidowi, membantah jika Panja berupaya menyiasati dua putusan MK dalam pembahasan revisi UU Pilkada.
Ia berdalih DPR bersama pemerintah tidak mengubah maupun membatalkan putusan MK. Panja justru mengadopsi putusan MK tersebut dengan kemudian lebih mendetailkan.
“Tidak ada membatalkan, tapi lebih dikerucutkan, lebih dieksplisitkan,” ujar dia. Namun nyatanya aturan yang dibuat DPR melanggar putusan MK.
Politikus PPP itu kembali menepis jika pembahasan revisi Undang-undang Pilkada berlangsung cepat dan baru dilakukan seusai putusan MK.
Baidowi menjelaskan, pembahasan revisi Undang-undang Pilkada sempat tertunda karena pelaksanaan pemilu kendari surat presiden untuk pembahasan revisi undang-undang ini sudah ada sejak Januari.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, pun mendukung pernyataan rekannya yang berada dalam Koalisi Indonesia Maju plus tersebut. Ia mengatakan, hasil rapat panja adalah untuk memberi persentase seadil-adilnya, khususnya kepada partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Adapun partai yang telah memiliki kursi di DPRD, acuannya tetap 20 persen sebagai syarat maju pencalonan.
Menurut dia, kekacauan bisa terjadi jika sebagian memakai ambang batas berdasarkan jumlah kursi, dan sebagian lagi menggunakan syarat pencalonan mengacu pada jumlah suara.
“Nanti saat pendaftaran ke KPU-nya bagaimana?” ujar Yandri. “Soal adil atau tidak, itu tergantung penafsiran masing-masing. Undang-undang harus ada kepastian hukum.” kata Yandri (lsy/jer)